KATA PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah Swt. kami memuji, memohon dan meminta ampunan serta
perlindungan dari-Nya dari kejahatan jiwa dan keburukan alam perbuatan kami.
Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, tak seorang pun dapat menyesatkannya.
Dan barangsiapa disesatkan-Nya, tak seorangpun dapat memberinya petunjuk.
Syukur Alhamdulillah akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah USHUL FIQH sebagai
tugas Semester II yang diberikan oleh dosen pengajar, bapak Muhammad Zuhdi
Zaini,M.Ag. Dan penulis mengucapkan terima kasih kepada beliau yang telah membimbing
dalam menyelesaikan tugas ini. Semoga tugas ini dapat menjadi pertimbangan
dalam penilaian Semester II dan bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Amin.
Ciputat, senin 11 Maret 2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an dan Hadis yang sampai kepada kita
masih otentik dan orisinal. Orisinalitas dan otentisitasnya didukung dengan
penggunaan bahasa asli (arab) dalam Al-Qur’an dan Hadis. Kedua hal tersebut
telah menjadi dasar atau sumber hukum bagi umat islam dalam mengambil dan
menentukan hukum. Untuk mengetahui bagaimana cara penetapan dan pengambilan
hukum, maka ada cara khusus yang disebut dengan metode. Metologi inilah yang
akan berperan dalam memahami hukum islam dari petunjuk-petunjuknya itu yakni
ushul fiqh.
Dalam pembahasan ini akan menyajikan beberapa
kajian seperti pengertan ushul fiqh, fiqh, syari’at dan sumber hukum islam
serta ruang lingkup dari ushul fiqh. Ushul fiqh adalah pengetahuan mengenai
berbagai kaidah dan bahasa yang menjadi
sarana untuk mengambil hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia mengenai
dalil-dalilnya yang terinci. Ilmu ushul fiqh dan ilmu fiqh adalah dua hal yang
tidak bisa dipisahkan. Ilmu ushul fiqh dapat diumpamakan seperti sebuah pabrik
yang mengolah data-data dan menghasilkan
sebuah produk yaitu ilmu fiqh.
Menurut sejarahnya, fiqh merupakan
suatu produk ijtihad lebih dulu dikenal dan dibukukan dibanding dengan ushul
fiqh. Tetapi jika suatu peroduk telah ada maka tidak mungkin tidak ada pabriknya.
Ilmu fiqh tidak mungkin ada jika tidak ada ilmu ushul fiqh. Oleh karena itu,
pembahasan pada makalah ini mengenai sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu
ushul fiqh. Sehingga kita bisa mengetahui bagaimana dan kapan ushul fiqh itu
ada.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Fiqh, Syariah, dan Hukum Islam
Pengertian fiqh atau ilmu fiqh
sangat berkaitan dengan syariah, karena fiqh itu pada hakikatnya adalah jabaran
praktis dari syariah.
Karenanya, sebelum membahasa tentang arti fiqh, terlebih dahulu perlu dibahas
arti dan hakikat syariah.
1. Pengertian
Syariah
Secara etimologis syariah berarti
“jalan yang harus diikuti.” Kata syariah muncul dalam beberapa ayat Al-Qur’an,
seperti dalm surah Al-Maidah:48, asy-Syura: 13, yang mengandung arti “ jalan
yang jelas yang membawa kepada kemenangan.”(Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqih. Hal. 1). Dalam hal ini agama yang ditetapkan oleh Allah disebut
syariah, dalam artian lughawi karena umart isla selalu melaluinya dalam
kehidupannya.
Menurut para ahli, syariah secara
terminologi adalah “segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku
manusia diluar yang mengenai akhlak”. Dengan demikian syariah itu adalah
nama bagi hukum-hukum yang bersifat amaliah. Karena memang syariah itu adalah
hukum amaliah yang berbeda menurut perbedaan Rasul yang membawanya dan setiap
yang dating kemudian mengoreksi yang dating lebih dahulu. Sedangkan dasar agama
yaitu tauhid/aqidah tidak berbeda antara Rasul yang satu dengan yang lain.
Sebagian ulama ada yang mengartikan syariah itu dengan: “ Apa-apa yang
bersangkutan dengan peradilan serta pengajuan perkara kepada mahkamah dan tidak
mencakup kepada hal yang halal dan haram.” Lebih dalam lagi Syaltut mengartikan
syariah dengan “hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan Allah bagi hamba-hambaNya
untuk diikuti dalam hubungannya dengan Allah dan hubungannya dengan manusia. Dr.Farouk
Abu Zeid menjelaskan bahwa syariah itu adalah apa-apa yang ditetapkan Allah
melalui lisan Nabi-Nya. Allah adalah pembuat huku yang menyangkut kehidupan
agama dan kehidupan dunia.
2. Pengertian
Fiqh
(فالاصل لغة) هو ما بني عليه غيره – كاصل الجدار.
Fiqh secara etimologi berarti pemahaman yang
mendalam dan membutuhkan pengerahan potensi akal.
Sedangkan secara terminologi fiqh merupakan bagian dari syari’ah
Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum syari’ah Islamiyah yang
berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat (mukallaf)
dan diambil dari dalil yang terinci. Sedangkan menurut Prof. Dr. H. Amir
Syarifuddin mengatakan fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syar’I yang
bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dengan dalil-dalil yang tafsili.
Penggunaan kata “syariah” dalam
definisi tersebut menjelaskan bahwa fiqh itu menyangkut ketentuan yang bersifat
syar’I, yaitu sesuatu yang berasal dari kehendak Allah. Kata “amaliah” yang
terdapat dalam definisi diatas menjelaskan bahwa fiqh itu hanya menyangkut
tindak tanduk manusia yang bersifat lahiriah. Dengan demikian hal-hal yang
bersifat bukan amaliah seperti masalah keimanan atau “aqidah” tidak termasuk
dalam lingkungan fiqh dalam uraian ini. penggunaan kata “digali dan ditemukan”
mengandung arti bahwa fiqh itu adalah hasil penggalian, penemuan,
penganalisisan, dan penentuan ketetapan tentang hukum. Fiqh itu adalah hasil
penemuan mujtahid dalam hal yang tdak dijelaskan oleh nash.
Dari penjelasan diata dapat kita tarik
benang merah, bahwa fiqh dan syariah memiliki hubungan yang erat. Semua
tindakan manusia di dunia dalam mencapai kehidupan yang baik itu harus tunduk
kepada kehendak Allah dan Rasulullah. Kehendak Allah dan Rasul itu sebagian
terdapat secara tertulis dalam kitab-Nya yang disebut syari’ah. Untuk mengetahui semua
kehendak-Nya tentang amaliah manusia itu, harus ada pemahaman yang mendalam
tentang syari’ah, sehingga amaliah syari’ah dapat diterapkan dalam kondisi dan
situasi apapun dan bagaimanapun. Hasilnya itu dituangkan dalam ketentuan yang
terinci. Ketentuan yang terinci tentang amaliah manusia mukalaf yang diramu dan diformulasikan sebagai hasil
pemahaman terhadap syari’ah itu disebut fiqh.
3. Pengertian
Hukum Islam
Hukum
Islam merupakan rangkaian kata “hukum” dan “islam”. Secara terpisah hukum dapat
diartikan sebagai seperangkat perturan tentang tingkah laku manusia yang
diakui sekelompok masyarakat, disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh
masyarakat itu, berlaku dan mengikat seluruh anggotanya. Bila kata “hukum”
di gabungkan dengan kata “islam”, maka hukum islam adalah seperangkat
peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunah rasul tentang tingkah laku manusia
mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama islam.
Bila
artian sederhana tentang hukum islam itu dihubungkan dengan pengertian fiqh,
maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud hukum islam itu adalah yang bernama
fiqh dalam literatur islam yang berbahasa arab.
B. Pengertian
dan Ruang Lingkup Ushul Fiqh
1.
Pengertian
Ushul fiqh
(اصول الفقه) دليل الفقه علي سبيل الاجمال.
Kata
“ushul” yang merupakan jamak dari kata “ashal” secara etimologi berarti
“sesuatu yang dasar bagi yang lainnya”.
Dengan demikian dapat diartikan bahwa ushul fiqh itu adalah ilmu yang
membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari dlilnya yang terinci. Atau dalam artian sederhana : kaidah-kaidah
yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya.
Sebagai contoh didalam kitab-kitab fiqh terdapat ungkapan bahwa “mengerjakan
salat itu hukumnya wajib”. Wajibnya mengerjakan salat itulah yang disebut
“hukum syara’.” Tidak pernah tersebut dalam Al-Qur;an maupun hadis bahwa salat
itu hukumnya wajib. Yang ada hanyalah redaksi perintah mengerjakan salat. Ayat
Al-Qur’an yang mengandung perintah salat itulah yang dinamakan “Dalil syara’”.
Dalam merumuskan kewajiban salat yang terdapat dalam dalil syara’ ada aturan
yang harus menjadi pegangan. Kaidah dalam menentukannya, umpamanya “setiap
perintah itu menunjukkan wajib”. Pengetahuan tentang kaidah merumuskan cara
mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah yang disebut dengan
‘Ilmu Ushul Fiqh”. Dari penjelasan ini
dapat disimpulkan bahwa perbedaan ushul fiqh dan fiqh adalah, jika ushul fiqh
itu pedoman yang membatasi dan menjelaskan cara-cara yang harus diikuti seorang
fakih dalam usahanya menggali dan mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya.
Sedangkan fiqh itu hukum-hukum syara’ yang telah digali dan dirumuskan dari
dalil menurut aturan yang sudah ditentukanitu.
2. Ruang
Lingkup Ushul Fiqh
Bertitik
tolak dari definisi ushul fiqh diatas, makas bahasan pokok dari ushul fiqh itu
adalah :
a.
Dalil-dalil atau sumber
hukum syara’
b.
Hukum-hukum syara’ yang
terkandung dalam dalil itu; dan
c.
Kaidah-kaidah tentang usaha
dan cara mengeluarkan hukum sayra’ dan dalil atau sumber yang mengandungnya.
3. Sejarah
dan Perkembangan Ushul Fiqh
Ilmu
ushul fiqh bersamaan munculnya dengan ilmu fiqh meskipun dalam penyusunannya
ilmu fiqh lebih dahulu dilakukan ketimbang ilmu ushul fiqh. Seharusnya fiqh itu
harus didahului oleh ushul fiqh, karena ushul fiqh adalah dasarnya dan fiqh itu
adalah hasilnya. Namun dalam penyusunannya ushul fiqh datang belakangan.
Perumusan
fiqh sebenarnya sudah ada pada masa sahabat. Para sahabat diantaranya Umar Ibn
Khattab, Ibnu Mas’ud, ‘Ali ibn Abi Thalib umpamanya, dalam mengemukakan
pendapatnya tentang hukum sebenarnya sudah menggunakan aturan atau pedoman
dalam merumuskan hukum, meskipun tidak secara jelas mereka mengemukakan
demikian.
Pada
saat Ali ibn Abi Thalib menetapkan hukuman cambuk sebanyak 80 kali terhadap
peminum khamar, beliau berkata, “ Bila ia minum ia akan mabuk dan bila ia
mabuk, ia akan menuduh orang berbuat zina secara tidak benar; maka kepadanya
diberikan sanksi tuduhan berzina.” Dari pernyataan Ali tersebut ternyata
menggunakan metode menutup pintu kejahatan atau yang dikenal dengan “sad
al-dzar’ah”.
‘Abdullah
ibn Mas’ud sewaktu mengemukakan pendapatnya tentang wanita hamil yang ditinggal
mati suaminya idahnya adalah sampai melahirkan anak. Mengemukakan argumennya
dengan firman Allah , surah at-Thalaq: 4, meskipun dalam surah Al-Baqarah: 234
menjelaskan bahwa istri yang ditinggal mati suaminya idahnya adalah empat bulan
sepuluh hari. Dalam menetapkan hukum ini beliau menggunakan metode nasakh-mansukh.
Dari kedua contoh tersebut para sahabat telah menggunakan metode ijtihad
sesuai dengan pedoman walaupun pada waktu itu belum dirumuskan secara jelas.
Pada
masa tabi’in lapangan istinbath semakin meluas dan perkembangannya cukup cepat.
Meskipun dalam perjalanannya terdapat perbedaan metode sehingga menimbulkan
beberapa aliran dalam ushul fiqh.
Abu
Hanifah dalam usaha menetapkan hukum menggunakan metodenya tersendiri. Ia
menerapkan Al-Qur’an sebagai sumber pokok dibarengi dengan hadis Nabi, dan
fatwa sahabat. Abu Hanifah tidak mengambil fatma ulama tabi’in karena ia
berpendapat bahwa dirinya satu ranking dengan mereka. Metodenya adalah
menggunakan qiyas dan istihsan yang terlihat nyata.
Imam
Malik lebih banyak menggunakan hadis ketimbang Abu Hanifah; mungkin karena
begitu banyaknya hadis yang dia temukan. Metode yang digunakan Imam Malik dalam
merumuskan hukum syara’ merupakan pantulan dari aliran Hijaz, sebagaimana
metode yang digunakan Abu Hanifah merupakan pantulan dari aliran Irak.
Setelah
Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, tampil Imam Syafi’i yang menemukan dalam
masany perbendaharaan fiqh yang sudah berkembang semenjak periode sahabat,
tabi’in, dan imam-imam yang mendahuluinya. Imam Syafi’i menelaah setiap
perdebatan antara berbagai kubu sehingga dapat menggali pengalamannya di tengah
pendapat yang berbeda itu. Ia juga menimba ilmu dari Imam Malik dan Muhammad
ibn Hasan al-Syaibani (murid Abu Hanifah). Hasil akhir dari pengetahuannya itu
memberikan petunjuk kepada Imam Syafi’i
untuk meletakan pedoman dan neraca berpikir yang menjelaskan langkah-langkah
yang harus dilakukan mujtahid dalam merumuskan hukum dalilnya. Metode berpikir
yang dirumuskan Imam Syafi’i itulah yang kemudian disebut “ushul fiqh”.
Sepeninggal
Imam Syaf’i’i ushul fiqh menjadi pokok pembicaraan yang menarik pada waktu itu.
Dan kemudian disempurnakan sebagian ulama yang kebanyakan pengikut Imam Syafi’i
mengembangkannya dengan cara, antara lain: mensyarahkan, memerinci yang
bersifat garis besar, mempercabangkannya pokok pikiran Imam Syafi’i, sehingga
ushul fiqh Syafi’iyyah menemukan bentuk sempurnanya.
Kemudian
kelompok ulama Hanafiyah mengambil sebagian yang dasar-dasarnya diletakan Imam
Syafi’i, mereka menambahkan pemikiran tentang istihsan dan ‘urf yang
diambl dari imam mereka. Kelompok ulama Malikiyyah, di samping mengikuti
beberapa dasar yang diletakan Imam Syafi’i dengan tidak mengikuti pendapat
Syafi’i yang menolak ijma’ I ahli Madinah dan memasukan tambahan berupa maslahat
mursalah serta prinsip penetapan hukum berdasarkan sad al-dzara’i.
Pada
prinsipnya fuqaha mazhab yang empat tidak berbeda dengan dasar yang ditetapkan
Imam Syafi’i tentang penggunaan dalil yang empat, yaitu: Al-Quran, Hadis,
Ijma’, dan Qiyas, meskipun dalam kadar penggunaannya terdapat perbedaan.
Sepeninggalnya imam-imam mujtahid yang empat dinyatakan bahwa kegiatan ijtihad
terhenti, namun sebenarnya yang terhenti adalah kegiatan ijtihad mutlaq sedangkan
ijtihad terhadap ushul mazhab yang tertentu masih tetap berlangsung yang
masing-masing mengarah kepada menguatnya ushul fiqh yang dirintis para imam
terdahulu.
Sesudah
melembaganya mazhab-mahab fiqh, maka arah pengembangan ushul fiqh terlihat
dalam dua bentuk yang berbeda.
Pertama,
arah pemikiran murni, yaitu penyusunan kaidah ushul yang tidak terpengaruh
kepada furu’ mazhab mana pun menurut arahnya sendiri disebut ushul fiqh
Syafi’iyyah atau fiqh aliran Mutakallimin. Kedua, mengarah pada penyusunan ushul
fiqh yang terpengaruh pada furu’ dan menyesuaikannya bagi kepentingan furu’ dan
berusaha mengembangkan ijtihad yang telah berlangsung sebelumnya. Ulama fuqaha
yang lebih banyak mengguankan metode ini adalah kelompok Hanafiyah.
Setelah
dua metode ini berjalan dan berkembang dengan baik menurut aliran
masing-masing, banyak bermunculan dari alirannya sendiri maupun gabungan kedua
aliran seperti kitab Jam’ul Jawami’ dan al-Tahrir.
BAB
III
KESIMPULAN
Dari
uraian yang telah dipaparkan, bahwa ilmu ushul fiqh sangatlah penting dalam
perumusan, penggalian dan penetapan hukum. Para mujtahid yang berkecipung dalam
hal ini sudah mempelajari metode yang telah ditentukan, sehingga dalam
mengistinbathkan hukum mereka tidak main-main. Meskipun dalam perjalanan terdapat
perbedaan pendapat baik mengenai status hukum atau perbedaan dalam metode
menentukan hukum yang mengakibatkan terjadinya beberapa aliran dalam ilmu ushul
fiqh, namun itu semua merupakan suatu hal yang biasa dan perlu untk dicermati
sehingga akan membuat umat semakin bijak dalam mengambil hukum.
Daftar
Pustaka
Syarifuddin
Amir, ushul fiqh, Jakarta; Kencana Perdana Media Group. 2011
Syafe’I
Rachmat, ilmu ushul fiqih. Bandung; Pustaka Setia, 2010
hakim,
abdul hamid, al-bayan.