Aqidah dan Filsafat 2012

Sabtu, 27 April 2013

Silabus Pengantar Filsafat



Silabi Program Studi Aqidah dan Filsafat
Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
A.      Identitas Mata Kuliah
Nama Mata Kuliah           : Pengantar Filsafat
Kode Mata Kuliah            : FIL 3059
Kompetensi                       : Mata Kuliah Dasar (MKD)
MK Prasyarat                     : -
Semester                            : II
Program/Jenjang             : S-1
Bobot                                    : 3 SKS
B.      Tujuan
Mata kuliah ini dipelajari agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami perkembangan pemikiran para filosof pada zaman Yunani kuno, sebagai prasyarat dan pengantar untuk memulai mempelajari filsafat Islam dan Filsafat Barat, modern dan kontemporer.
C.      Deskrifsi Mata Kuliah
Mata kuliah ini membahas tentang perkembangan pemikiran para filosof pada zamann Yunani kuno, sebagai dasar untuk mempelajari filsafat Islam, filsafat barat, modern dan kontemporer.
D.      Topik Inti
1.       Pendahuluan
a.       Arti Filsafat: Epistemologi dan Terminologis
b.      Objek Kajian Filsafat: Material dan Formal
c.       Cabang-Cabang Filsafat: Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis
d.      Faidah-Faidah Mempelajari Filsafat
2.       Filsafat Yunani
a.       Kelahiran Filsafat di Yunani
b.      Antara Mythos dan Logos
c.       Hubungan Filsafat dengan Agama, Ilmu dan Seni
1)      Filsafat dan Agama
2)      Filsafat dan Ilmu
3)      Filsafat dan Seni
3.       Filsafat pra-Sokrates
a.       Filsafat Alam (aliran Monisme)
1)      Thales
2)      Anaximandros
3)      Anaximenes
4)      Heraklietos
4.       Pythagoras dan Alirannya
a.       Filsafatnya tentang Manusia
b.      Filsafatnya tentang  Alam
c.       Filsafat Matematika
5.       Filsafat Alam Kembali (Kaum Pluralis)
a.       Ajaran tentang Empat Unsur
b.      Ajaran Mengenai Cinta dan Benci
c.       Para Filosof Atomis
6.       Filsafat Sokrates (Masa Peralihan dari Filsafat Alam ke Filsafat Manusia dari Ontologi ke Epistemologi)
a.       Kaum Sofis (Kelahiran dan Pemikiran Kaum Sofis)
b.      Kehidupan Sokrates
c.       Metode Sokrates: Kritis dan Dialektis
d.      Ajaran Etika
7.       Plato
a.       Teori Tentang Idea
b.      Etika
c.       Negara Ideal
8.       Aristoteles (Bapak Logika Tradisonal)
a.       Logika
b.      Fisika
c.       Jiwa
d.      Metafisika
e.      Etika
9.       Filsafat Helenisme Romawi
a.       Epikorus dan Ajaran-Ajarannya
b.      Stoa dan Ajaran-Ajarannya
c.       Skeptimisme Tentang: Etika, Akademi, dan Penelitian
10.   Filsafat dan Agama
a.       Aliran Gnostisisme (Neo Pythagoras)
b.      Filsafat Yahudi (Philo Iskandaria)
1)      Agama Yahudi dan Filsafat
2)      Takwil Ayat-Ayat Falsafi
3)      Kehidupan Spiritual
c.       Neo Platonisme (Plotinus - )
1)      Teori Emanasi Tentang Penciptaan
2)      Teori Remanasi
11.   Filsafat Patristik
a.       Patristik Timur
b.      Patristik Barat
12.   Filsafat Abad Pertengahan
a.       Awal Skolastik
b.      Kejayaan Skolastik
c.       Akhir Skolastik
13.   Lanjutan Filsafat Skolastik
E.       Referensi
1.       Buku Wajib
a.       K. Bertens: Sejarah Filsafat Yunani
b.      M. Hatta: Alam Pikran Yunani (3 Jilid)
c.       Harun Hadiwiyono: Sri Sejarah Filsafat Barat (2 Jilid)

2.       Bacaan Anjuran
a.       Harold H. Titus at.al.: Persoalan-Persoalan Filsafat (Terjemahan)
b.      Louis O. Katsoff: Pengantar Filsafat (Terjemahan)
c.       Van Peursen: Orientasi di Alam Filsafat (Terjemahan)

Jumat, 15 Maret 2013

Ilmu Kalam




Oleh:

JUADIR IHSAN
SEPTIDI AGE PRATAMA
ALI SAPUTRA
I.                 Pengertian ilmu kalam

menurut ahli tata bahasa Arab, kalam adalah 'kata' atau 'lafaz' dengan bentuk majemuk (ketentuan atau perjanjian). Secara teknis, kalam adalam alasan atau argumen rasional untuk memperkuat perkataan. Secara tata bahasa, kalam merupakan kata umum tentang perkataan, sedikit atau banyak, yang dapat digunakan untuk setiap bentuk pembicaraan (likulli ma yatakallam bihi); atau ekspresi suara yang berturut-turut hingga pesan-pesan suara itu jelas maksudnya. Dalam ayat 144 surah al-A'raf, menyebut bi kalami yang ditujukan kepada Nabi Musa AS, menurut al-Baidawi maksud bi kalami iyyaka (aku berbicara lansung kepadamu). Dalam ayat 15 surah al-fath, kalama Allah diartikan janji atau ketentuan Allah SWT yang haru diikuti oleh seluruh umat manusia.[1]
Sebagai kata benda dari kata taklim, kalam mengandung dua pengertian, yaitu berbicara dan hukum (undang-undang). Ayat 75 surah al-Baqarah, kalam berarti Allah SWT berbicara langsung kepada Nabi Musa AS atau hukum Allah SWT yang dikenal dengan din al-Islam. Ayat 6 surah at-Taubah, kalam adalah firman Allah SWT atau isi yang terkandung dalam agama islam secara nyata dan menyeluruh. Kalam sebagai kata kerja banyak digunakan dalam al-Quran yang artinya berbicara kepada seseorang yang dikenai perbuatan. Abu Hasan al-Asy'ari dalam al-Ibanah mengartikan kata taklim dengan al-musyafahah bi al-kalam (berbicara dengan pembicaraan tertentu). Kata kalam lainnya mempunyai pengertian yang netral yaitu berbicara, bercakap-cakap, dan diskusi yaitu latakallamu terdapat surah Hud ayat 105, na takallamu dalam surah an-Nur ayat 16, dan ya takallamu dalam surah ar-Rum ayat 35 dan an-naba ayat 38.[2]
Syech M. Abduh menyatakan bahwa ilmu kalam ialah ilmu yang membicarakan tentang wujudnya Tuhan (Allah), sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang tidak ada pada-Nya dan sifat-sifat yang mungkin ada pada-Nya dan membicarakan tentang Rasul-rasul Tuhan, untuk menetapkan kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang mesti ada padanya, siafat-sifat yang mungkin ada padanya.[3] Adapula yang mengatakan kalau ilmu kalam ialah ilmu yang membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan (agama islam) dengan bukti-bikti yang yakin.
menurut Harun Nasution, teologi dalam islam disebut 'ilm al-Tauhid. Kata tauhid mengandung arti satu atai Esa dan ke-Esaan dalam pandangan Islam, sebagai agama monotheisme merupakan sifat yang terpenting di antara segala sifat-sifat Tuhan. Teologi Islam disebut pula 'ilm al-Kalam. Kalam adalah kata-kata, sehingga dengan pengertian kalam ini muncul dua pemahaman. Pertama, kalam ialah sabda Tuhan. Karena soal kalam sebagai sabda Tuhan atau Al-Quran dikalangan umat Islam pada abad ke sembilan dan kesepuluh Masehi pernah menimbulkan pertent angan-pertentangan keras sehingga timbul penganiayaan dan pembunuhan-pembunuhan terhadap sesama muslimpada masa itu. Kedua, yang dimaksud kalam adalah kata-kata manusia, karena kaum teolog Islam bersilat lidah dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pendirian dan masing-masing. Teolog dalam Islam dinamai dengan mutakallimun yaitu hali debat yang pandai memakai kata-kata.[4]
menurut Nurcholish Majid, ilmu kalam sering diterjemahkan sebagai teologia, sekalipun sebenarnya tidak seluruhnya sama dengan pengertian teologia dalam agama Kristen. Misalnya dalam pengertian teologi Kristen, ilmu fiqih dalam islam termasuk teologi. Karena itu sebagian di kalangan ahli ada yang menghendaki pengertian yang lebih praktis untuk menerjemahkan ilmu kalam sebagai teologis dialektis atau teologi rasional, dan mereka melihatnya sebagai suatu disiplin ilmu yang sangat khas dalam Islam.[5]

II. Nama-Nama Lain Dari Ilmu Kalam
1. Ilmu Tauhid
Ilmu Tauhid adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, soal-soal yang wajib, mustahil, dan jaiz bagi Allah dan Rasul-Nya, serta mengupas dalil-dalil yang mungkin sesuai dengan akal, guna membuktikan adanya zat yang mewujudkan, kemudian juga mengupas dalil-dalil sam’iyat guna mempercayai sesuatu dengan yakin.
Sebab dinamai ilmu Tauhid dikarenakan ilmu ini membahas keesaan Allah.
2. Ilmu Ushuluddin
Ushuluddin adalah serangkaina kata yang terdiri dari ushul dan ad-din. Ushul adalah jama’ dari ashl yang berarti pokok, dasar, fundamen sedangkan ad-din artinya adalah agama. Jadi perkataan Ushuluddin menurut loghatnya berarti pokok atau dasar-dasar agama.
Alasan dinamai dengan ilmu Ushuluddin yaitu karena ilmu ini membahas tentang prinsip-prinsip agama Islam.
“Ilmu Ushuluddin adalah ilmu yang membahas padanya tentang prinsip-prinsip kepercayaan agama dengan dalil-dalil qath’I dan dalil-dalil akal fikiran”
3. Ilmu Aqaid
Aqaid artinya simpulan – buhul, yakni kepercayaan yang tersimpul dalam hati. Aqaid adalah jama’ dari aqidah. M. Hasby As Sidiqi menjelaskan dalam bukunya tentang maudhu’ tahid, dia mengatakan bahwa maudhu’tauhid adalah pokok pembicaraan ilmu tauhid yaitu aqidah yang diterangkan dalil-dalilnya.
Jadi, ini dinamakan dengan ilmu Aqaid disebabkan ilmu ini berbicara tentang kepercayaan Islam. Syekh Thahir Al Jazairy menerangkan :
“Aqidah Islam ialah hal-hal yang diyakini oleh orang-orang Islam, artinya mereka menetapkan atas kebenarannya “
4. Ilmu Ma’rifah
Ma’rifah artinya adalah pengenalan atau mengenal. Dalam Islam, tentang ilmu ketuhanan ini sering disebut dengan ilmu Ma’rifah karena ilmu ini membahas terhadap hal-hal yang berkenaan dengan sifat-sifat-Nya yang wajib, mustahil, dan jaiz bagi-Nya.
5. Theology Islam
Penulis-penulis barat banyak menggunakan sebutan theology Islam, tentang ilmu Kalam, baik dari segi loghat maupun istilah. Theology terdiri dari dua kata yaitu “theos” yang berarti Tuhan dan “logos” yang berarti ilmu. Oleh karena itu theology bermakna ilmu tentang tuhan atau ilmu tentang ketuhanan.
6. Nama Lainnya
Ada sebagian ulam yang menyebutkan bahwa ilmu tauhid ini disebut dengan ilmu sifat dua puluh. Ini disebabkan karena sifat-sifat ketuhanan yang wajib ada pada-Nya ada dua puluh jumlahnya dan itulah yang menjadi pokok pembahasannya.[6]



III. Perbedaan antara Ilmu Kalam dengan Ilmu Figh dan Filsafat
1.      Perbedaan Ilmu Kalam dan Fiqh
Perbedaan antara kedua ilmu tersebut adalah kalau ilmu kalam bertautan dengan soal-soal kepercayaan (aqidah), maka Fiqh bertautan dengan hukum-hukum perbuatan lahir (ahkam ‘amalijjah). Al-Farabi mengatakan bahwa perbedaan kedua ilmu tersebut ialah kalau ilmu kalam menguatkan ‘aqidah  dan syariat yang dijelaskan oleh pembuat agama (Tuhan dan Nabi Muhammad SAW). sedang ilmu Fiqh berusaha mengambil hukum (istimbat) sesuatu yang tidak dijelaskan oleh pembuat agama dari suatu yang sudah diterangkannya dalam lapangan ‘aqidah dan syariat semuanya.
Dengan perkataan lain, ilmu kalam membicarakan soal-soal ‘aqidah, yaitu dasar-dasar agama, sedang ilmu Fiqh membicarakan soal-soal furu’, yaitu yang bertalian dengan perbuatan. Masalah ‘’tauhid’’ (mengesakan Tuhan) merupakan salah satu dasar Islam dan dari padanya seorang faqih mengambil hukum-hukum ibadat, tanpa menguraikan dasar agama tau memperbincankan Ketuhanan dan sifat-sifat Tuhan, karena persoalan-persoalan ini menjadi bidang pembahasan ulama-ulama Ilmu Kalam, bukan bidang seorang faqih. Demikian pula halnya dengan dasar-dasar lainnya, seperti soal-soal kebangkitan, politik, siksa dan sebagainya.[7]
2.      Perbedaan Ilmu Kalam dengan Filsafat
Ilmu kalam sebagai sebuah disiplin ilmu pasti memiliki sistematika dan metode tersendiri. Metode yang digunakan ilmu kalam adalah metode jidal (debat). A. Razak menyebutnya dengan metode keagamaan. Alasannya, karena para mutakallimun (teolog) untuk mempertahankan keyakina dan argumentasinya selalu dengan perkataan atau pembicaraan dan perdebatan. Sehingga orang yang ahli dibidang kalam disebut mutakallimun. Sebagai sebuah diskusi keagamaan, wacana kalam yang menjadi objek kajiannya adalah keyakinan kebenaran tentang ajaran Agama Islam, bukan mencari sutau kebenaran yang dibicarakan oleh filsafat.[8]  
             Dengan batasan di atas, ada perdebatan yang sangat mencolok antara Ilmu Kalam dan filsafat. Ilmu kalam ingin mempertahankan kebenaran keyakinan keagamaan secara logis dan argumentasi. Dengan kata lain, kalam didahului oleh keyakinan kemudian dilakukan sebuah pembuktian. Sementara filsafat ingin mencari kebenaran dengan argumen dan pembuktian secara rasional untuk dijadikan sebagai suatu pegangan dan keyakinan.[9]


[1] Ensiklopedia Islam 2, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm. 345
[2] Ibid,                     
[3] Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Klam), (Jakarta: pustaka al-Husna), hlm. 12
[4] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI H-Press, 1978), hlm. ix
[5] Nurcholis Majid, Islam Doktrin dan Peradaban. Sebuah Telaah Krisis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderayan, (Jakarta: Paramadina, 1992), hlm. 201-202
[6] Nama-nama Ilmu Kalam dan Sebab Penamaan You Friend.htm (Oleh: khalik0589 | Oktober 30, 2008) diakses pada tanggal 11 Maret 2013
[7] A. Hanafi M.A, Theology islam (Jakarta, Pustaka al-Husna), hlm. 14
[8] A. Razak. Metode Studi Islam, (Bandung: Media Utama Pustakama, 2001), hlm. 86
[9] Rohanda WS, Op. Cit. Hlm. 18

Jawaban Pertanyaan:
1. Definisi nama-nama Lain merupakan objektifitas dari ilmu kalam itu sendiri. Bukan penyetaraan ilmu rujukan itu semuanya sama.
(Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan)
2. Tiga ciri ilmu kalam yakni: Kalam Allah, Mutakallimun, dan tidak sama dengan Ilmu Mantiq (karena berhubungan dengan aqidah bukan pemikiran alam).
(Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan)
3. Tujuan Ilmu Kalam yakni: menjelaskan aqidah Islam dan menangkis serangan kritik dari pihak luar (meyakinkan atau mengkuatkan pengetahuan tentangnya sehingga terhindar dari sifat ragu dalam menjalaninya.
(Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan)
4. Ilmu Ushul Fiqh menjadi disiplin ilmu sejak pada abad 2 H kemudian terus berkembang pada abad 3 H dan 4 H yang dibauri dengan beberapa paham atau aliran - aliran Islam seperti Asa'riyyah yang dominan di masyarakat.
(Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan)
5. Sumber - Sumber Ilmu Kalam : Al-Quran, Hadis, dan Akal.
(Ali Saputra) 

Pengertian Ruang Lingkup dan Manfaat Ushul Fiqh : Pengertian Fiqh, Syari’ah dan Hukum Islam, Pengertian dan Ruang Lingkup Ushul Fiqh, dan Sejarah Kemunculan dan Perkembangan Ushul Fiqh



KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt. kami memuji, memohon dan meminta ampunan serta perlindungan dari-Nya dari kejahatan jiwa dan keburukan alam perbuatan kami. Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, tak seorang pun dapat menyesatkannya. Dan barangsiapa disesatkan-Nya, tak seorangpun dapat memberinya petunjuk. Syukur Alhamdulillah akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah USHUL FIQH sebagai tugas Semester II yang diberikan oleh dosen pengajar, bapak Muhammad Zuhdi Zaini,M.Ag. Dan penulis mengucapkan terima kasih kepada beliau yang telah membimbing dalam menyelesaikan tugas ini. Semoga tugas ini dapat menjadi pertimbangan dalam penilaian Semester II dan bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Amin.



Ciputat, senin 11 Maret  2013

            Penulis




BAB I
PENDAHULUAN

Al-Qur’an dan Hadis yang sampai kepada kita masih otentik dan orisinal. Orisinalitas dan otentisitasnya didukung dengan penggunaan bahasa asli (arab) dalam Al-Qur’an dan Hadis. Kedua hal tersebut telah menjadi dasar atau sumber hukum bagi umat islam dalam mengambil dan menentukan hukum. Untuk mengetahui bagaimana cara penetapan dan pengambilan hukum, maka ada cara khusus yang disebut dengan metode. Metologi inilah yang akan berperan dalam memahami hukum islam dari petunjuk-petunjuknya itu yakni ushul fiqh.
Dalam pembahasan ini akan menyajikan beberapa kajian seperti pengertan ushul fiqh, fiqh, syari’at dan sumber hukum islam serta ruang lingkup dari ushul fiqh. Ushul fiqh adalah pengetahuan mengenai berbagai kaidah dan bahasa yang  menjadi sarana untuk mengambil hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia mengenai dalil-dalilnya yang terinci. Ilmu ushul fiqh dan ilmu fiqh adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Ilmu ushul fiqh dapat diumpamakan seperti sebuah pabrik yang mengolah data-data  dan menghasilkan sebuah produk yaitu ilmu fiqh.
            Menurut sejarahnya, fiqh merupakan suatu produk ijtihad lebih dulu dikenal dan dibukukan dibanding dengan ushul fiqh. Tetapi jika suatu peroduk telah ada maka tidak mungkin tidak ada pabriknya. Ilmu fiqh tidak mungkin ada jika tidak ada ilmu ushul fiqh. Oleh karena itu, pembahasan pada makalah ini mengenai sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu ushul fiqh. Sehingga kita bisa mengetahui bagaimana dan kapan ushul fiqh itu ada.


BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian Fiqh, Syariah, dan Hukum Islam

Pengertian fiqh atau ilmu fiqh sangat berkaitan dengan syariah, karena fiqh itu pada hakikatnya adalah jabaran praktis dari syariah.[1] Karenanya, sebelum membahasa tentang arti fiqh, terlebih dahulu perlu dibahas arti dan hakikat syariah.

1.     Pengertian Syariah
Secara etimologis syariah berarti “jalan yang harus diikuti.” Kata syariah muncul dalam beberapa ayat Al-Qur’an, seperti dalm surah Al-Maidah:48, asy-Syura: 13, yang mengandung arti “ jalan yang jelas yang membawa kepada kemenangan.”(Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih. Hal. 1). Dalam hal ini agama yang ditetapkan oleh Allah disebut syariah, dalam artian lughawi karena umart isla selalu melaluinya dalam kehidupannya.
Menurut para ahli, syariah secara terminologi adalah “segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia diluar yang mengenai akhlak”. Dengan demikian syariah itu adalah nama bagi hukum-hukum yang bersifat amaliah. Karena memang syariah itu adalah hukum amaliah yang berbeda menurut perbedaan Rasul yang membawanya dan setiap yang dating kemudian mengoreksi yang dating lebih dahulu. Sedangkan dasar agama yaitu tauhid/aqidah tidak berbeda antara Rasul yang satu dengan yang lain. Sebagian ulama ada yang mengartikan syariah itu dengan: “ Apa-apa yang bersangkutan dengan peradilan serta pengajuan perkara kepada mahkamah dan tidak mencakup kepada hal yang halal dan haram.” Lebih dalam lagi Syaltut mengartikan syariah dengan “hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan Allah bagi hamba-hambaNya untuk diikuti dalam hubungannya dengan Allah dan hubungannya dengan manusia. Dr.Farouk Abu Zeid menjelaskan bahwa syariah itu adalah apa-apa yang ditetapkan Allah melalui lisan Nabi-Nya. Allah adalah pembuat huku yang menyangkut kehidupan agama dan kehidupan dunia.

2.     Pengertian Fiqh

(فالاصل لغة) هو ما بني عليه غيره – كاصل الجدار.[2]
Fiqh secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam dan membutuhkan pengerahan potensi akal.[3] Sedangkan secara terminologi fiqh merupakan bagian dari syari’ah Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat (mukallaf) dan diambil dari dalil yang terinci. Sedangkan menurut Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin mengatakan fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syar’I yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dengan dalil-dalil yang tafsili.[4]
Penggunaan kata “syariah” dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa fiqh itu menyangkut ketentuan yang bersifat syar’I, yaitu sesuatu yang berasal dari kehendak Allah. Kata “amaliah” yang terdapat dalam definisi diatas menjelaskan bahwa fiqh itu hanya menyangkut tindak tanduk manusia yang bersifat lahiriah. Dengan demikian hal-hal yang bersifat bukan amaliah seperti masalah keimanan atau “aqidah” tidak termasuk dalam lingkungan fiqh dalam uraian ini. penggunaan kata “digali dan ditemukan” mengandung arti bahwa fiqh itu adalah hasil penggalian, penemuan, penganalisisan, dan penentuan ketetapan tentang hukum. Fiqh itu adalah hasil penemuan mujtahid dalam hal yang tdak dijelaskan oleh nash.
Dari penjelasan diata dapat kita tarik benang merah, bahwa fiqh dan syariah memiliki hubungan yang erat. Semua tindakan manusia di dunia dalam mencapai kehidupan yang baik itu harus tunduk kepada kehendak Allah dan Rasulullah. Kehendak Allah dan Rasul itu sebagian terdapat secara tertulis dalam kitab-Nya yang disebut  syari’ah. Untuk mengetahui semua kehendak-Nya tentang amaliah manusia itu, harus ada pemahaman yang mendalam tentang syari’ah, sehingga amaliah syari’ah dapat diterapkan dalam kondisi dan situasi apapun dan bagaimanapun. Hasilnya itu dituangkan dalam ketentuan yang terinci. Ketentuan yang terinci tentang amaliah manusia mukalaf[5]  yang diramu dan diformulasikan sebagai hasil pemahaman terhadap syari’ah itu disebut fiqh.[6]

3.     Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam merupakan rangkaian kata “hukum” dan “islam”. Secara terpisah hukum dapat diartikan sebagai seperangkat perturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat, disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu, berlaku dan mengikat seluruh anggotanya. Bila kata “hukum” di gabungkan dengan kata “islam”, maka hukum islam adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunah rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama  islam.[7]
Bila artian sederhana tentang hukum islam itu dihubungkan dengan pengertian fiqh, maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud hukum islam itu adalah yang bernama fiqh dalam literatur islam yang berbahasa arab.

B.    Pengertian dan Ruang Lingkup Ushul Fiqh
1.        Pengertian Ushul fiqh

(اصول الفقه) دليل الفقه علي سبيل الاجمال[8].
Kata “ushul” yang merupakan jamak dari kata “ashal” secara etimologi berarti “sesuatu yang dasar bagi yang lainnya”.  Dengan demikian dapat diartikan bahwa ushul fiqh itu adalah ilmu yang membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari dlilnya yang terinci.  Atau dalam artian sederhana : kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya.[9] Sebagai contoh didalam kitab-kitab fiqh terdapat ungkapan bahwa “mengerjakan salat itu hukumnya wajib”. Wajibnya mengerjakan salat itulah yang disebut “hukum syara’.” Tidak pernah tersebut dalam Al-Qur;an maupun hadis bahwa salat itu hukumnya wajib. Yang ada hanyalah redaksi perintah mengerjakan salat. Ayat Al-Qur’an yang mengandung perintah salat itulah yang dinamakan “Dalil syara’”. Dalam merumuskan kewajiban salat yang terdapat dalam dalil syara’ ada aturan yang harus menjadi pegangan. Kaidah dalam menentukannya, umpamanya “setiap perintah itu menunjukkan wajib”. Pengetahuan tentang kaidah merumuskan cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah yang disebut dengan ‘Ilmu Ushul Fiqh”.  Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa perbedaan ushul fiqh dan fiqh adalah, jika ushul fiqh itu pedoman yang membatasi dan menjelaskan cara-cara yang harus diikuti seorang fakih dalam usahanya menggali dan mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya. Sedangkan fiqh itu hukum-hukum syara’ yang telah digali dan dirumuskan dari dalil menurut aturan yang sudah ditentukanitu.[10]


2.     Ruang Lingkup Ushul Fiqh
Bertitik tolak dari definisi ushul fiqh diatas, makas bahasan pokok dari ushul fiqh itu adalah :
a.       Dalil-dalil atau sumber hukum syara’
b.      Hukum-hukum syara’ yang terkandung dalam dalil itu; dan
c.       Kaidah-kaidah tentang usaha dan cara mengeluarkan hukum sayra’ dan dalil atau sumber yang mengandungnya.[11]

3.     Sejarah dan Perkembangan Ushul Fiqh
Ilmu ushul fiqh bersamaan munculnya dengan ilmu fiqh meskipun dalam penyusunannya ilmu fiqh lebih dahulu dilakukan ketimbang ilmu ushul fiqh. Seharusnya fiqh itu harus didahului oleh ushul fiqh, karena ushul fiqh adalah dasarnya dan fiqh itu adalah hasilnya. Namun dalam penyusunannya ushul fiqh datang belakangan.
Perumusan fiqh sebenarnya sudah ada pada masa sahabat. Para sahabat diantaranya Umar Ibn Khattab, Ibnu Mas’ud, ‘Ali ibn Abi Thalib umpamanya, dalam mengemukakan pendapatnya tentang hukum sebenarnya sudah menggunakan aturan atau pedoman dalam merumuskan hukum, meskipun tidak secara jelas mereka mengemukakan demikian.
Pada saat Ali ibn Abi Thalib menetapkan hukuman cambuk sebanyak 80 kali terhadap peminum khamar, beliau berkata, “ Bila ia minum ia akan mabuk dan bila ia mabuk, ia akan menuduh orang berbuat zina secara tidak benar; maka kepadanya diberikan sanksi tuduhan berzina.” Dari pernyataan Ali tersebut ternyata menggunakan metode menutup pintu kejahatan atau yang dikenal dengan “sad al-dzar’ah”.
‘Abdullah ibn Mas’ud sewaktu mengemukakan pendapatnya tentang wanita hamil yang ditinggal mati suaminya idahnya adalah sampai melahirkan anak. Mengemukakan argumennya dengan firman Allah , surah at-Thalaq: 4, meskipun dalam surah Al-Baqarah: 234 menjelaskan bahwa istri yang ditinggal mati suaminya idahnya adalah empat bulan sepuluh hari. Dalam menetapkan hukum ini beliau menggunakan metode nasakh-mansukh. Dari kedua contoh tersebut para sahabat telah menggunakan metode ijtihad sesuai dengan pedoman walaupun pada waktu itu belum dirumuskan secara jelas.
Pada masa tabi’in lapangan istinbath semakin meluas dan perkembangannya cukup cepat. Meskipun dalam perjalanannya terdapat perbedaan metode sehingga menimbulkan beberapa aliran dalam ushul fiqh.
Abu Hanifah dalam usaha menetapkan hukum menggunakan metodenya tersendiri. Ia menerapkan Al-Qur’an sebagai sumber pokok dibarengi dengan hadis Nabi, dan fatwa sahabat. Abu Hanifah tidak mengambil fatma ulama tabi’in karena ia berpendapat bahwa dirinya satu ranking dengan mereka. Metodenya adalah menggunakan qiyas dan istihsan yang terlihat nyata.
Imam Malik lebih banyak menggunakan hadis ketimbang Abu Hanifah; mungkin karena begitu banyaknya hadis yang dia temukan. Metode yang digunakan Imam Malik dalam merumuskan hukum syara’ merupakan pantulan dari aliran Hijaz, sebagaimana metode yang digunakan Abu Hanifah merupakan pantulan dari aliran Irak.
Setelah Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, tampil Imam Syafi’i yang menemukan dalam masany perbendaharaan fiqh yang sudah berkembang semenjak periode sahabat, tabi’in, dan imam-imam yang mendahuluinya. Imam Syafi’i menelaah setiap perdebatan antara berbagai kubu sehingga dapat menggali pengalamannya di tengah pendapat yang berbeda itu. Ia juga menimba ilmu dari Imam Malik dan Muhammad ibn Hasan al-Syaibani (murid Abu Hanifah). Hasil akhir dari pengetahuannya itu memberikan  petunjuk kepada Imam Syafi’i untuk meletakan pedoman dan neraca berpikir yang menjelaskan langkah-langkah yang harus dilakukan mujtahid dalam merumuskan hukum dalilnya. Metode berpikir yang dirumuskan Imam Syafi’i itulah yang kemudian disebut “ushul fiqh”.
Sepeninggal Imam Syaf’i’i ushul fiqh menjadi pokok pembicaraan yang menarik pada waktu itu. Dan kemudian disempurnakan sebagian ulama yang kebanyakan pengikut Imam Syafi’i mengembangkannya dengan cara, antara lain: mensyarahkan, memerinci yang bersifat garis besar, mempercabangkannya pokok pikiran Imam Syafi’i, sehingga ushul fiqh Syafi’iyyah menemukan bentuk sempurnanya.[12]
Kemudian kelompok ulama Hanafiyah mengambil sebagian yang dasar-dasarnya diletakan Imam Syafi’i, mereka menambahkan pemikiran tentang istihsan dan ‘urf yang diambl dari imam mereka. Kelompok ulama Malikiyyah, di samping mengikuti beberapa dasar yang diletakan Imam Syafi’i dengan tidak mengikuti pendapat Syafi’i yang menolak ijma’ I ahli Madinah dan memasukan tambahan berupa maslahat mursalah serta prinsip penetapan hukum berdasarkan sad al-dzara’i.
Pada prinsipnya fuqaha mazhab yang empat tidak berbeda dengan dasar yang ditetapkan Imam Syafi’i tentang penggunaan dalil yang empat, yaitu: Al-Quran, Hadis, Ijma’, dan Qiyas, meskipun dalam kadar penggunaannya terdapat perbedaan. Sepeninggalnya imam-imam mujtahid yang empat dinyatakan bahwa kegiatan ijtihad terhenti, namun sebenarnya yang terhenti adalah kegiatan ijtihad mutlaq sedangkan ijtihad terhadap ushul mazhab yang tertentu masih tetap berlangsung yang masing-masing mengarah kepada menguatnya ushul fiqh yang dirintis para imam terdahulu.
Sesudah melembaganya mazhab-mahab fiqh, maka arah pengembangan ushul fiqh terlihat dalam dua bentuk yang berbeda.
Pertama, arah pemikiran murni, yaitu penyusunan kaidah ushul yang tidak terpengaruh kepada furu’ mazhab mana pun menurut arahnya sendiri disebut ushul fiqh Syafi’iyyah atau fiqh aliran Mutakallimin. Kedua, mengarah pada penyusunan ushul fiqh yang terpengaruh pada furu’ dan menyesuaikannya bagi kepentingan furu’ dan berusaha mengembangkan ijtihad yang telah berlangsung sebelumnya. Ulama fuqaha yang lebih banyak mengguankan metode ini adalah kelompok Hanafiyah.
Setelah dua metode ini berjalan dan berkembang dengan baik menurut aliran masing-masing, banyak bermunculan dari alirannya sendiri maupun gabungan kedua aliran seperti kitab Jam’ul Jawami’ dan al-Tahrir. [13]


BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian yang telah dipaparkan, bahwa ilmu ushul fiqh sangatlah penting dalam perumusan, penggalian dan penetapan hukum. Para mujtahid yang berkecipung dalam hal ini sudah mempelajari metode yang telah ditentukan, sehingga dalam mengistinbathkan hukum mereka tidak main-main. Meskipun dalam perjalanan terdapat perbedaan pendapat baik mengenai status hukum atau perbedaan dalam metode menentukan hukum yang mengakibatkan terjadinya beberapa aliran dalam ilmu ushul fiqh, namun itu semua merupakan suatu hal yang biasa dan perlu untk dicermati sehingga akan membuat umat semakin bijak dalam mengambil hukum.



Daftar Pustaka

Syarifuddin Amir, ushul fiqh, Jakarta; Kencana Perdana Media Group. 2011
Syafe’I Rachmat, ilmu ushul fiqih. Bandung; Pustaka Setia, 2010
www.Wikipedia.com , mukallaf, mujtahid,; ciputat, akses pada 10 maret 2013
hakim, abdul hamid, al-bayan.


[1] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, ushul fiqh. Hal. 1
[2] Abdul hamid hakim, al-bayan. Hal 3-4
[3] Prof. Dr. Rachmat Syafe’I, MA.  Ilmu ushul fiqh. Hal. 18
[4] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, ushul fiqh. Hal. 3
[5] Mukallaf adalah muslim yang dikenai kewajiban atau perintah dan menjauhi larangan agama (pribadi muslim yang sudah dapat dikenai hukum). Seseorang berstatus mukallaf bila ia telah dewasa dan tidak mengalami gangguan jiwa maupun akal. Sedangkan mujtahid adalah ialah orang-orang yang berijtihad hanya pada beberapa masalah saja, jadi tidak dalam arti keseluruhan, namun mereka tidak mengikuti satu madzhab. Misalnya, Hazairin berijtihad tentang hukum kewarisan Islam, Mahmus Junus berijtihad tentang hukum perkawinan, A. Hasan Bangil berijtihad tentang hukum kewarisan dan hukum lainnya, Prof. Dr. H. M. Rasyidi berijtihad tentang filsafat Islam. Wikipedia, mukallaf. Mujtahid.
[6] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, ushul fiqh. Hal. 5
[7] Ibid.Hal. 6-7
[8] Abdul hamid hakim, al-bayan. Hal 3-4

[9] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, ushul fiqh. Hal. 41
[10]Ibid.. Hal. 42
[11] Ibid. Hal. 49
[12] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, ushul fiqh. Hal. 46
[13] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, ushul fiqh. Hal. 47-48